suatu senja di ibukota

dari atas balkon kosan
nggak terasa sudah sebulan lebih saya berada di kota besar ini, kota yang katanya mampu secara magis mewujudkan semua mimpi - mimpi para pencari nafkah di seluruh negeri. Kota yang katanya terlalu liar untuk dijinakkan, apalagi jika sudah tertanam rasa nyaman akan kampung halaman. Tetapi semua itu lagi - lagi bergantung kepada sudut pandang, bagaimana kamu menghadapi, bagaimana kamu menikmati, dan bagaimana kamu mencuri celah untuk kemudian berhati - hati mencirikan diri. Banyak hal yang saya dapatkan selama berada di sini, pengalaman, nilai hidup, perjuangan, kasih, rasa syukur, dan lain sebagainya. Walaupun hal - hal tersebut terhitung sedikit jika dibandingkan dengan jutaan hal lainnya yang pasti akan saya dapatkan kelak.

Sebenarnya ini bukan hal yang baru saya menginjakan kaki di Jakarta. Jauh - jauh hari sebelumnya saya pun pernah, hanya saja saya rasa terlalu mengeneralisir apabila pengalaman sekedipan mata itu saya jadikan sebuah kesan mula untuk kota sebesar ini. Lain halnya dengan kondisi sekarang. karena udaranya telah keluar masuk tubuh menyatu dan terikat oleh darah; airnya bagaikan selimut membasahi kulit setubuh dengan keringat, juga secara frontal masuk melalui celah kerongkong; Tanahnya saya injak; langitnya saya junjung dan saya renungi. Lihat! saya sudah tampak seperti orang Jakarta walaupun belum penuh layaknya Jokowi.

-ooo-

Jakarta itu... Kerja, Kerja, Kerja

Seperti yang saya bilang sebelumnya di awal paragraf, Jakarta identik dengan para pencari kerja, pun tidak terkecuali saya. Sebenarnya saya tidak memaksakan diri untuk bekerja di Jakarta, hanya saja nasib yang membawa, garis kerja yang mengiring. Seperti halnya jodoh yang tak kemana, rezekipun juga, nggak jauh - jauh dari pulau jawa contohnya. Padahal jika dikatakan ada peluang, tentu saja ada, karena bidang kerja yang saya geluti menuntut untuk selalu siap bekerja dimanapun, di jawa, luar jawa, bahkan pelosok negri.

Lokasi saya tinggal dan bekerjapun sangat mencirikan betapa heterogennya tingkat pekerjaan di Jakarta. Tentu saja, karena saya tinggal tak jauh dari pelabuhan, terminal, dan stasiun tanjung Priok Jakarta Utara, dimana secuil kebengisan Jakarta tumbuh di dalamnya. Di Tanjung Priok ini, hampir semua tingkatan kasta profesi ada, dari yang (maaf) hanya sekedar gelandangan, penjaja asongan, mandor bocah kampung, mekanik motor pribadi (ada tetangga kos yang kerjaannya cuman ngotak - ngatik motor sendiri, mungkin sudah panggilan jiwa), tukang siul, tukang pukul, penjudi plat nomor, dewa mabuk, PSK, ibu - ibu tukang goda, karyawan kantoran, karyawan bulanan, karyawan tahunan, pegawai kontrak, pegawai tetap, bos besar, bos BUMN, sampai pejabat negara. Semua ada.

Dari ribuan profesi di sepotong Jakarta itu, saya berdiri di salah satu petaknya, sebagai buruh ingusan di sebuah pembangkit listrik di ujung utara Jakarta. Pertama kali, sebagai imigran kota yang cenderung ndeso melihat ibukota tentu ada rasa was - was. banyak pertanyaan yang timbul bergejolak, bagaimana budaya kerja disini? bagaimana orang - orangnya? apakah cara berbicara saya sudah sesuai? apakah berbuat ini dan itu salah? dan masih banyak lagi, Tapi berbagai pertanyaan itu terjawab sudah hanya dalam tempo yang singkat, sehari saja. jauh lebih singkat dari usaha perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan, ya, itu, sudah, pasti. Alhamdulillah, jodoh dan rezeki memang benar - benar tidak akan kemana, dan saya seketika sudah merasa betah bekerja disini.

saya dan seragam kebanggaan
Pekerjaan yang saya geluti walaupun terlihat sederhana dan sepele tetapi pada dasarnya menuntut sebuah ketelitian. Sekali saja terjadi kesalahan yang fatal, maka akan berimbas kepada keandalan unit pembangkit, terutama pada bagian turbin. Dan walaupun banyak juga yang mengatakan bahwa pekerjaan ini adalah bagian yang paling sekunder, tapi kerja keras harus menjadi junjungan paling primer. Seperti semboyan yang saya ambil dari militer "Jangan tanyakan apa yang telah, perusahaan berikan kepadamu. Tapi tanyakan apa yang telah kau berikan kepada perusahaanmu" (sudah melewati mini editting). yap! Saya bangga sebagai analist kimia lingkungan pembangkit!

Jakarta itu... ramai

Beberapa hari tinggal di Jakarta, beberapa kali pulalah saya berkesempatan mengunjungi pusat ibukota. Perlu diketahui, walaupun tempat tinggal saya juga termasuk dari bagian ibukota, tetapi masih ada yang lebih kota lagi, tak lain dan tak bukan adalah Jakarta pusat, alias monaaaaaas!. Terhitung sejauh ini, sebenarnya ada banyak kesempatan, tapi hanya dua kali yang terealisasi, yaitu ketika ngebolang bareng wahyu si teman kosan, dan yang kedua ketika mengikuti event jalan sehat seluruh BUMN di Indonesia yang disponsori oleh PLN

keep healthy and strong walaupun jomblo :)
Selama mengikuti event tersebut, banyak titik - titik di Jakarta yang sebelumnya hanya bisa terlihat di layar kaca tetapi dengan vulgarnya sekarang telah tampak di pelupuk mata telanjang saya. Mulai dari monas, masjid istiqlal, lapangan banteng, patung selamat datang, juga Sarinah yang melegenda pun tak luput dari jamahan mata. Semuanya serba macet dan seakan berjalan begitu lambat, Semuanya riuh seakan penuh tanpa cela. Mungkin suatu saat, pemandangan ini menjadi hal yang sangat biasa dan wajar saja, tapi untuk sekarang biarkanlah saya berdecak kagum sambil berkata.... Jakarta ramaaaaaai.

Jakarta dan keuangan kita

Belajar menjadi Jakarta, berarti sama saja kita sedang ditempa untuk menjadi pengelola keuangan yang baik. Apalagi bagi kalian yang mengaku sebagai anak kosan. Jujur, pertama kali jajan makan di sekitar kosan, saya merasa syok ketika tahu kalau harga makanan hampir seluruhnya seharga dua kali lipat dari yang ada di rumah. Tidak hanya makanan, hal ini juga berlaku untuk barang - barang rumahan, ongkos angkot, biaya cukur rambut, laundry, sewa DVD, bahkan sampai jasa tukang parkir sekalipun. luar biasa.

Untuk menyiasati berbagai macam kebutuhan yang terkait dengan yang namanya uang, terlebih sebagai orang baru yang gajipun baru setengah, maka saya pun harus pintar memangkas jatah di sana sini, salah satunya tentu yang paling mudah, uang makan. Bayangkan, jika dihitung secara matematis, sekali makan dengan jatah 10 ribu (dihitung apabila menu yang dipakai adalah menu murah tapi sehat; minimal ada 1 jenis sayur) maka sebulan dengan alokasi sehari makan 3 kali, pengeluarannya akan menyentuh angka 900 ribu, hampir setengah gaji bulanan hilang. itupun jika saya berprinsip sebagai ular lho, minum nggak minum yang penting makan.

Kini, saya harus benar - benar berterimakasih kepada siapapun yang menciptakan sistem mie cepat saji alias mie instant. Dengan keberadaannya yang begitu nyata, saya merasa sangat terbantu, terutama dari sisi perdompetannya. Walaupun terkadang ada rasa menyesal dan berdosa tiap memakan mie instan, tapi prihatin harus tetap jalan. Seperti kata pepatah "tidak ada yang namanya seketika, tidak ada yang namanya instan, bahkan mie instan sekalipun harus melewati proses untuk siap disantap" sedaaaaaaaap~

jangan sering sering makan emi~
ohya, selain mengirit dari sisi makan, saya juga rutin tiap bulan menabung. Jadi konsepnya setiap bulan saya akan menentukan seberapa besar gaji yang akan disimpan untuk kemudian tidak digunakan. Yang disimpan itu nantinya nggak boleh diotak atik, harus keep di rekening kecuali ada keadaan mendesak. contoh : terdampar di tengah kota, butuh ongkos, laper, haus, uang di dompet abis. naaah, jika keadaan yang mendesak itu terjadi, maka uang desakan tersebut nantinya akan dirapel ke jatah tabungan bulan berikutnya. Dan begitu seterusnya. Kunci konsep tabung menabung ini pada dasarnya harus komit dan keras terhadap diri sendiri, juga tentu harus memiliki perhitungan yang baik terhadap keuangan sendiri.

Bebas menjadi Jakarta

Menjadi Jakarta itu sebenarnya tidak sesusah yang dibayangkan. Kamu tidak perlu repot - repot menghafalkan dan menggunakan kosakata A, B dan C, tidak perlu sejauh itu menerapkan logat yang bukan kamu banget, dalam percakapan sehari - hari misalnya. Juga tidak perlu neko - neko beraktivitas macam underground, tongkrong sana tongkrong sini hanya untuk disebut bagian dari kaum gaul jakarta, tidak, tidak perlu seperti itu. Karena bagi saya menjadi jakarta itu bebas, bebas menjadi dirimu sendiri bebas mengekspresikan suatu hal yang menurutmu itu baik untuk dilakukan.

Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Jakarta itu kota yang heterogen. Di dalamnya tidak hanya berdiam diri mahluk yang hanya bisa berkata "Lu" dan "Gue" sebagai kata ganti "Aku" dan "Kamu" dalam percakapan sehari - hari. Kamu dengan mudah bisa menemukan orang Jawa, Batak, Sunda, Minang, Ambon, Madura dan lain sebagainya. Bahkan pula kamu bisa menemukan orang - orang dengan ragam etnis yang berbeda seperti Cina, Indo, Arab, India, Jepang, Korea juga negara yang jauh macam Kazakh, Uzbek, Turki, dan lain sebagainya.

Pernah suatu hari ketika saya sedang berada di suatu halte TransJakarta, saya bertemu dengan seorang bule. Awalnya saya takut dan was - was jika tiba - tiba ia menanyakan sesuatu kepada saya, wajar saja, saya orang baru yang belum mengenal dalam Jakarta dan bahasa Inggris sayapun masih kaku. Tetapi ketakutan itu berubah menjadi perasaan geli ketika ia memulai percakapan dengan bahasa Indonesia. Cukup lancar walau masih ada aksen kebarat - baratan. Dalam percakapannya, si bule mengajak fitness dan makan bersama, kemudian jalan - jalan berkeliling kota dengan busway. Ia berkata "Saya akan memperkenalkan daerah - daerah Jakarta kepada you, saya sudah hafal dan saya ingin you tahu". hahaha. bahkan seorang bulepun bisa kok menjadi Jakarta yang hangat dan ramah, Jakarta mah bebassss. (ohya ajakan dia saya tolak karena mengandung unsur fitness, maklum gengsi dong perut buncit datang ke tempat fitness hehehe)

Ohya berbicara mengenai kebebasan, nggak selamanya hal yang bebas itu baik kok. Tentu ada poin - poin khusus yang harus kita jaga agar tidak menjadi pribadi yang bebas terus bablas, seperti dalam hal kesopanan. Selama kamu berpegang teguh untuk selalu berperilaku sopan, insyaAllah kedepannya kebebasan yang kamu terapkan di tanah jakarta ini menjadi bebas yang bertanggung jawab. Mungkin itu alasan kenapa ibu selalu mewanti - wanti saya agar selalu memegang adat jawa yang insyaAllah baik dalam hal bertingkah laku.

-ooo-

Ngomongin soal Jakarta memang tidak akan pernah ada habisnya, selalu saja akan ada hal yang pantas untuk dibicarakan. Bahkan sebelum mengenal secara langsungpun, orang - orang seakan gemar untuk membahas polah tingkah luar dan dalam dari ibukota Jakarta. Mungkin dari salah satu sudut kota, saya telah melihat senja Jakarta yang sedemikian rupa, tapi mungkin jika saya merubah arah akan tampat temaram senja yang lainnya, who knows?. Akan selalu ada yang baru dari pengalaman hidup, dan tentu saja akan selalu muncul nilai - nilai yang bermuara dari pengalaman tersebut. Jangan lupa, Jakarta itu hidup, dan sesuatu yang hidup akan terus berkembang nantinya.

Comments

Post a Comment

komentar yang baik, maka kebaikan akan kembali padamu :)

Popular posts from this blog

tahap seleksi indonesia power 2016

dear mamah puan, jangan mau jadi ndeso

Jangan takut repot di jalan